Kalender Wiwid Novis (popo)

Universitas Gunadarma

Link Teman

Senin, 01 Maret 2010

Pendidikan Kewarganegaraan Kehilangan Roh

Indonesia adalah negara plural. Terdiri dari beratus-ratus suku dan bahasa. Hal ini tentu menjadi sebuah kekayaan yang sangat berarti. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, dapat jgua menjadi malapetaka. Ia memunculkan politik yang lebih menekankan identitas kedaerahan. Hal ini pernah kita rasakan pada masa-masa awal kemerdekaan, ketika daerah-daerah menuntut haknya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, politik identitas itu berhasil diredam.

Karena ketakutan akan munculnya aksi separatis dari daerah-daerah tersebut, pemerintahan Orde Baru menerapkan politik sentaralisasi. Keinginan daerah diredam dan setiap aksi daerah ditanggapi dengan sikap otoriter-represif. Sikap otoriter-represif pemerintahan Orde Baru ini pun menimbulkan perlawanan demi perlawanan, yang memuncak pada peristiwa Mei 1998, yakni tergulingnya rezim pemerintahan Orde Baru.

Orde Baru kemudian digantikan dengan Orde Reformasi. Salah satu ciri penting reformasi adalah terbukanya kran demokrasi dan peluang besar daerah melalui sistem desentralisasi. Daerah diberi kebebasan untuk membangun dan mengatur dirinya sendiri.

Reformasi yang bergulir di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran civil society (masyarakat sipil). Kelompok ini berhasil menggulingkan rezim Orde Baru yang telah memerintah selama 32 tahun. Reaksi masyarakat sipil yang mulai dikembangkan di Indonesia pada era 1990-an itu, muncul karena adanya kecenderungan politik rezim Orde Baru yang otoriter-totaliter. Karena itu, dalam arti tertentu, masyarakat madani sering ditempatkan dalam konteks vis a vis, atau berhadap-hadapan dengan negara.

Dalam era otonomi daerah, peran masyarakat sipil kian menguat. Menurut Prof. Henk Schulte Nordholt peneliti dari Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, penguatan civil society adalah sesuatu hal yang positif. Berbagai peristiwa politik yang berlangsung di tanah air seperti pemilihan kepala daerah langsung, tidak bisa dipisahkan dari peran kelompok ini.

Namun, kata Henk, perkembangan civil society saja tidak cukup. Perkembangan civil society harus diiringi dengan kesadaran tinggi tentang prinsip citizenship (kewarganegaraan). Tanpa kesadaran akan kewarganegaraan maka akan menimbulkan konflik bahkan perpecahan.

"Ya kalau civil society hanya dikembangkan di daerah untuk kepentingan tertentu saja, maka itu apa gunanya. Hal itu hanya akan menjadi sesuatu yang berbahaya. Bisa muncul konflik bahkan perpecahan," ujarnya usai bedah buku "Politik Lokal di Indonesia" di Jakarta beberapa waktu lalu.

Salah satu gejala kurangnya kesadaran akan pemahaman terhadap citizenship kata Henk, muncul ketika seseorang ditanyai identitasnya. "Perkenalan pertama yang muncul pertama adalah saya adalah orang Batak, Jawa atau Sunda. Baru setelah itu orang Indonesia,"ujarnya.

Agar tidak menimbulkan konflik atau perpecahan, Henk menganjurkan agar diskusi dan pembahasan tentang citizenship harus lebih dikedepankan, bukan hanya diskusi tentang civil society.

Civil society adalah salah satu kelompok masyarakat yang terlepas dari negara. Sedangkan citizenship berhubungan dengan hak tertentu. Paham citizenship, kata Henk, menempatkan semua orang sama di depan hukum, atau undang-undang dan kerena itu juga harus dilindungi. Semua warga harus berada di bawah undang-undang yang sama, dan tidak ada perbedaan diantara kelompok etnis, agama atau daerah.

"Dalam ide citizenship misalnya, yang yang boleh menjadi presiden RI itu adalah calon terbaik, jadi bukan terbatas pada orang Jawa, atau agama tertentu saja. Itu sangat penting untuk mengikuti undang-undang,"ujar Henk.

Pemahaman tentang citizenship perlu dikembangkan supaya semua orang tahu bahwa yang pertama-tama sebenarnya bukan orang Madura, orang Aceh, Jawa dan lain-lainnya tapi adalah warga Indonesia.

Salah satu cara untuk mendepankan pemahanan tentang citizenship, adalah melalui pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan di sekolah-sekolah.

Menurut Asep Saefuddin Wakil Rektor IV Bidang Hubungan Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor, pendidikan kewarganegaraan yang dijalankan di sekolah-sekolah selama ini hanya bersifat formalistik yakni sebagai prasyarat mata ajaran belaka.

"Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan selama ini hanya formalistik, bukan sebagai upaya nasional untuk membangun karakter (character building). Dan karena itu, ia kehilangan rohnya," ujar Asep.

Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan katanya, hanya bersifat kewajiban dan artifisial. Karena itu, pendidikan kewarganegaraan tidak bisa menjadi alat untuk menggelorakan semangat nasionalisme.

Karena itu, Asep mendesak pemerintah untuk melakukan pembenahan total baik kurikulum maupun sistem pengajaran. Pendidikan kewarganegaraan, katanya, harus bisa mendekatkan dirinya dengan realitas harian. Misalnya, anak diajarkan untuk menghormati hak-hak warga lain.

Selain pendidikan kewarganegaraan, kata Henk, peran negara juga sangat penting. Negara harus menampilkan dirinya sebagai sosok kuat, yang bisa melindungi hak-hak warganya. Negara juga harus bisa mengubah fungsinya menjadi welfare state, yakni yang mengusahakan kemakmuran bagi warganya, seperti mengelola pendidikan, kesehatan dan infrasruktur.

"Jadi, yang sangat berbahaya dalam proses itu adalah ideologi neoliberal yang mengatakan less state, more democracy, yakni pengelolaan negara harus seminimal mungkin. Hemat saya, Indonesia memerlukan more state, bukan hanya pada tingkat lokal, tapi juga pada tingkat nasional,"ujar Henk.

Agar negara bisa memainkan peran kuat, Henk menyarankan sebuah pemerintahan yang kuat (strong government). "Tapi bukan pemerintahan yang otoriter. Strong government yang maju dan efisien, dengan banyak ahli karena banyak pengetahuan. Dan tetap dikontrol oleh mesin-mesin demokrasi," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar