KASUS PELANGGARAN HAM DI
SEJALAN ?
Oleh Pertampilan S. Brahmana 1. Pendahuluan Perkembangan baru mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) di
serta dimasukkannya masalah HAM dalam UUD 45 yang telah diamandemen. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
disahkan pada tanggal 23 September 1999, dan mulai diberlakukan 23 September 1999, pada masa pemerintahan BJ
Habibie. UU ini juga memerintahkan pendirian Komnas HAM. Tujuan Komnas HAM adalah (a) mengembangkan kondisi
yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan (b) meningkatkan perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai lembaga, Komnas HAM lembaga mandiri, kedudukannya
setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
Dalam UUD 45 yang belum diamandemen dan UUD 45 yang sudah diamandemen, masalah HAM (Hak Asasi
Manusia) dalam UUD 45 dan dalam UUD 45 yang telah diamandemen ada perbedaan istilah. Dalam UUD 45 yang
belum diamandemen, tidak dikenal istilah HAM (Hak Asasi Manusia), tetapi warga negara. Sedangkan dalam UUD 45
yang telah diamandemen selain dikenal istilah warga negara dan juga istilah hak individu. Penggunaan kedua istilah ini
dalam UUD 45 yang sudah diamandemen memberikan kesan bahwa dalam UUD 45 yang belum di amandemen, tidak
dihargai hak-hak individu.
yang sudah diamandemen? Mengapa UUD 45 yang belum diamandemen mempergunakan istilah hak warga negara
bukan hak asasi manusia? Menurut Padmo Wahyono, suatu hak kemanusiaan sebenarnya baru menjadi permasalahan
apabila seseorang berada dalam lingkungan manusia lainnya. Hanya secara teoritis abstrak kita dapat membayangkan
hak manusia yang mutlak tanpa memerlukan perumusan dalam lingkungannya dengan masyarakat. Dalam rangka
pemikiran inilah rumusan perindungan hak-hak kemanusiaan dalam UUD 45 dijelmakan menjadi hak warganegara dan
mengenai kedudukan penduduk. Alasan mengapa istilah hak asasi manusia tidak dipergunakan dalam UUD 45, menurut
Soekarno , karena
1993:116-127). 2. Pengertian HAM Bagaimana definisi HAM menurut Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia? Menurut
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 39/1999 tentang HAM; dijelaskan (1). Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia; (2) Kewajiban dasar manusia adalah
seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi
manusia, (3) Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya, (4). Penyiksaan
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang
hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang
atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan
oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila
rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan
siapapun dan atau pejabat politik. Secara rinci HAM menurut dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah 1. Semua
manusia mempunyai hak yang sama. 2. Setiap orang berhak atas semua hak dan kekebesan tanpa perkecualian
seperti misalnya bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, asal usul kebangsaan, kelahiran. 3. Setiap
orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang. 4. Tidak boleh ada perbudakan. 5. Tidak
boleh ada penganiayaan. 6. Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi. 7. Semua orang berhak
atas perlindungan hukum yang sama. 8. Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif. 9. Tidak boleh ada
penangkapan, penahanan atau pembuangan sewenang-wenang. Sedangkan dalam Undang-Undang Republik
1. Hak untuk hidup 2. Hak untuk berjodoh 3. Hak untuk mengembangkan diri 4. Hak untuk memperoleh keadilan 5.
Hak atas kebebasan pribadi. 6. Hak atas rasa aman 7. Hak atas kesejahteraan 8. Hak turut serta dalam pemerintahan.
9. Hak Wanita. 10. Hak Anak Dokumen PBB lebih mengedepankan masalah hak manusia, sedangkan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, manusia selain mempunyai hak yang disebut Hak-Hak Asasi
Manusia (HAM), juga menjelaskan masalah kewajiban manusia di
peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM yang diterima negara
dokumen HAM PBB dan dokumen HAM Indonesia ada perbedaan. Perbedaan itu terletak pada kewajiban. Dokumen
PBB tidak menjelaskan kewajiban manusia. Dokumen HAM Indonesia menjelaskan kewajiban manusia. Akibat tidak jelasnya kewajiban dalam dokumen HAM PBB ini, dokumen PBB itu kerapkali berubah menjadi alat provokasi oleh
kalangan tertentu, terhadap negaranya sendiri. Ketika hak-hak atau kepentingan kalangan tertentu terganggu di
negaranya, mereka menggunakan dokumen PBB untuk mengekspresikan, membenarkan dan sekaligus untuk
mempertahankan hak-hak atau kepentingannya. Akibat tidak jelasnya kewajiban manusia menurut HAM PBB ini,
mengakibatkan LSM-LSM yang mempunyai akses ke dunia Internasional, kerap merepotkan pemerintah sebuah negara
dalam menghadapi satu masalah termasuk
HAM itu, antara hak dan kewajiban berjalan secara harmonis, tidak dibenarkan hanya menuntut haknya, kalau ini terjadi
sama dengan pemeras istilahnya, tidak dibenarkan melaksanakan kewajibannya saja, kalau ini terjadi perbudakan
istilahnya. 3. Pelanggaran HAM: Kasus Orde Baru Kondisi sosial Bangsa
tahun 1945, hingga berakhirnya masa Orde lama, dan kemudian digantikan oleh Orde Baru keduanya memiliki
kekuasaan yang bersifat sentralistis, presidenlah yang berperan besar. Pasca turun Soeharto dari panggung politik
isu Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, otonomi daerah, kekuasaan yang selama ini terpusat di
perlahan mulai didelegasikan ke bawah dalam hal ini kepada Gubernur dan kepada Walikota dan Bupati. Pada tingkat
ini, pengertian HAM dan demokratisasi cenderung dipersepsikan sendiri-sendiri sehingga mereka yang mengusung isu
ini mengekspresikannya secara berlebihan, sehingga kadang berbenturan dengan pemerintah pusat atau pemerintah
daerah, konflik antar suku, antar kelompok agama serta antar perusahaan dengan lingkungan masyarakat, terjadi di
beberapa wilayah di
mencuat kepermukaan bukan saja berkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintahan
pada masa lalu, seperti kasus pembantaian G30S/PKI, kasus Tanjung Priok, Haur Koneng, kasus 27 Juli 1996, kasus
Situbondo, kasus Tasikmalaya, penangkapan dan pemenjaraan atas aktivis pemuda dan mahasiswa yang berbeda
pendapat dengan pemerintah yang berkuasa, DOM di Aceh, kasus Trisakti dan Semanggi, kasus lepasnya Timor-Timor,
tetapi juga kasus pelanggaran hak asasi manusia pada masa pasca orde baru seperti berlanjutnya penzaliman terhadap
rumah-rumah ibadah, konflik terbuka antara Dayak dan Madura di Kalimantan, konflik terbuka di
perlawanan GAM di Aceh, aktifitas OPM di Papua. Semua bermuatan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Menurut Jeffry Winters, dari Amerika Serikat, sejak Soeharto dijatuhkan Mei 1998, sudah ada 20.000 orang
yang tewas, jumlah ini lebih banyak dari korban yang jatuh saat Orba berkuasa (Harian SIB, 12/07/2002). Ini
mengisyaratkan terjadi penambahan terhadap kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Berdasarkan catatan redaksi
sekitar kita (akses 30/12/2003), yang dimasukkan ke dalam kategori pelanggaran HAM semasa Orde Baru adalah
sebagai berikut: Data-Data Pelanggaran HAM Semasa Orde Baru Tahun Kasus 1965 -
Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jendral Angkatan Darat. - Penangkapan, penahanan dan pembantaian
aktif maupun pasif dalam kejadian ini. 1966 - Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap
PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi
di penjara. - Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember. - Sekolahsekolah
Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember. 67 - Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh
pemerintah. - April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di
Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang. 1969 - Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan
tahanan yang tidak diadili dikirim ke
proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung
dengan
membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebutsebut
bukan termasuk partai politik. 1970 - Pelarangan demo mahasiswa. - Peraturan bahwa Korpri
harus loyal kepada Golkar. - Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru. - Larangan penyebaran
ajaran Bung Karno. 1971 - Usaha peleburan partai- partai. - Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71
serta kampanye berat sebelah dari Golkar. - Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti
rugi yang layak. - Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di
ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya
Sum Kuning dibebaskan. 1972 - Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung. 1973 -
Kerusuhan anti Cina meletus di
akibat demo anti Jepang yang meluas di
Sebelas pendemo terbunuh. - Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘
pimpinan Muchtar Lubis. 1975 - Invansi tentara
terbunuhnya
tanah Siria- ria. - Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim
perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim. - Kasus
subversi komando Jihad. 1978 - Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/
media cetak di
pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi. - Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain
Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas. 1980 - Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari.
Kekerasan menyebar ke
Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negeri. 1981 - Kasus Woyla, pembajakan
pesawat garuda
- Kasus Tanah Rawa Bilal. - Kasus Tanah Borobudur . Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah
memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai. – Majalah jelasnya kewajiban dalam dokumen HAM PBB ini, dokumen PBB itu kerapkali berubah menjadi alat provokasi oleh
kalangan tertentu, terhadap negaranya sendiri. Ketika hak-hak atau kepentingan kalangan tertentu terganggu di
negaranya, mereka menggunakan dokumen PBB untuk mengekspresikan, membenarkan dan sekaligus untuk
mempertahankan hak-hak atau kepentingannya. Akibat tidak jelasnya kewajiban manusia menurut HAM PBB ini,
mengakibatkan LSM-LSM yang mempunyai akses ke dunia Internasional, kerap merepotkan pemerintah sebuah negara
dalam menghadapi satu masalah termasuk
HAM itu, antara hak dan kewajiban berjalan secara harmonis, tidak dibenarkan hanya menuntut haknya, kalau ini terjadi
sama dengan pemeras istilahnya, tidak dibenarkan melaksanakan kewajibannya saja, kalau ini terjadi perbudakan
istilahnya. 3. Pelanggaran HAM: Kasus Orde Baru Kondisi sosial Bangsa
tahun 1945, hingga berakhirnya masa Orde lama, dan kemudian digantikan oleh Orde Baru keduanya memiliki
kekuasaan yang bersifat sentralistis, presidenlah yang berperan besar. Pasca turun Soeharto dari panggung politik
isu Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, otonomi daerah, kekuasaan yang selama ini terpusat di
perlahan mulai didelegasikan ke bawah dalam hal ini kepada Gubernur dan kepada Walikota dan Bupati. Pada tingkat
ini, pengertian HAM dan demokratisasi cenderung dipersepsikan sendiri-sendiri sehingga mereka yang mengusung isu
ini mengekspresikannya secara berlebihan, sehingga kadang berbenturan dengan pemerintah pusat atau pemerintah
daerah, konflik antar suku, antar kelompok agama serta antar perusahaan dengan lingkungan masyarakat, terjadi di
beberapa wilayah di
mencuat kepermukaan bukan saja berkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintahan
pada masa lalu, seperti kasus pembantaian G30S/PKI, kasus Tanjung Priok, Haur Koneng, kasus 27 Juli 1996, kasus
Situbondo, kasus Tasikmalaya, penangkapan dan pemenjaraan atas aktivis pemuda dan mahasiswa yang berbeda
pendapat dengan pemerintah yang berkuasa, DOM di Aceh, kasus Trisakti dan Semanggi, kasus lepasnya Timor-Timor,
tetapi juga kasus pelanggaran hak asasi manusia pada masa pasca orde baru seperti berlanjutnya penzaliman terhadap
rumah-rumah ibadah, konflik terbuka antara Dayak dan Madura di Kalimantan, konflik terbuka di
perlawanan GAM di Aceh, aktifitas OPM di Papua. Semua bermuatan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Menurut Jeffry Winters, dari Amerika Serikat, sejak Soeharto dijatuhkan Mei 1998, sudah ada 20.000 orang
yang tewas, jumlah ini lebih banyak dari korban yang jatuh saat Orba berkuasa (Harian SIB, 12/07/2002). Ini
mengisyaratkan terjadi penambahan terhadap kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Berdasarkan catatan redaksi
sekitar kita (akses 30/12/2003), yang dimasukkan ke dalam kategori pelanggaran HAM semasa Orde Baru adalah
sebagai berikut: Data-Data Pelanggaran HAM Semasa Orde Baru Tahun Kasus 1965 -
Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jendral Angkatan Darat. - Penangkapan, penahanan dan pembantaian
aktif maupun pasif dalam kejadian ini. 1966 - Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap
PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi
di penjara. - Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember. - Sekolahsekolah
Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember. 67 - Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh
pemerintah. - April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di
Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang. 1969 - Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan
tahanan yang tidak diadili dikirim ke
proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung
dengan
membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebutsebut
bukan termasuk partai politik. 1970 - Pelarangan demo mahasiswa. - Peraturan bahwa Korpri
harus loyal kepada Golkar. - Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru. - Larangan penyebaran
ajaran Bung Karno. 1971 - Usaha peleburan partai- partai. - Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71
serta kampanye berat sebelah dari Golkar. - Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti
rugi yang layak. - Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di
ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya
Sum Kuning dibebaskan. 1972 - Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung. 1973 -
Kerusuhan anti Cina meletus di
akibat demo anti Jepang yang meluas di
Sebelas pendemo terbunuh. - Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘
pimpinan Muchtar Lubis. 1975 - Invansi tentara
terbunuhnya
tanah Siria- ria. - Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim
perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim. - Kasus
subversi komando Jihad. 1978 - Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/
media cetak di
pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi. - Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain
Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas. 1980 - Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari.
Kekerasan menyebar ke
Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negeri. 1981 - Kasus Woyla, pembajakan
pesawat garuda
- Kasus Tanah Rawa Bilal. - Kasus Tanah Borobudur . Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah
memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai. – Majalah dokumen HAM PBB ini, dokumen PBB itu kerapkali berubah menjadi alat untuk membenarkan tindakan sendiri, alat
untuk memprovokasi oleh kalangan tertentu di dalam sebuah negara, terhadap negaranya sendiri. Ketika hak-hak
kalangan tertentu tersebut terganggu di negaranya, (tidak mengakui bertanggungjawab sebagai bagian dari kewajiban
dalam penegakan HAM) mereka mengunakan dokumen PBB untuk mengekspresikan, membenarkan dan sekaligus
untuk mempertahankan kebenaran tingkah lakunya yang tidak bertanggungjawab tersebut. Akibat tidak jelasnya
kewajiban manusia menurut HAM PBB ini, mengakibatkan kelompok-kelompok yang mempunyai akses ke dunia
Internasional, kerap merepotkan pemerintah sebuah negara dalam menghadapi satu masalah seperti yang dialami
politik, maupun kepentingan yang bermotif ekonomi, sementara implikasi tindakannya sebagai bagian dari
tanggungjawabnya sebagai warga Negara tidak .dilakukannya. Pelaksanaan HAM seharusnya antara hak dan
kewajiban antara warga negara atau pemerintah, harus berjalan secara harmonis, tidak dibenarkan hanya menuntut
haknya saja, kalau ini terjadi sama dengan pemeras, tidak dibenarkan melaksanakan kewajibannya saja, kalau ini terjadi
perbudakan namanya. Ternyata pelaksanaan antara hak dan kewajiban di
oleh aparat pemerintah sebagai pelaku dari sisi pemerintahan, dan kelompok masyarakat dari sisi warga negara. 5.
Penutup Kasus pelanggaran hak asasi manusia, pelaku utamanya tertuding adalah aparat negara (negara menzalimin
warganya), namun pelanggaran hak asasi manusia yang pelakunya bukan aparat negara tidak pernah diungkapkan
secara jelas. (warga menzalimin negaranya). Padahal kedua belah pihak adalah pelanggaran HAM yang siginifikan. Baik
aparat negara maupun bukan, mempunyai hubungan sebab akibat, dan korban terbesar dari pelanggaran HAM adalah
rakyat biasa yang sama sekali tidak terkait dengan berbagai kepentingan politik dari dua belah pihak yang berseteru.
Maka terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia, pada masa orde lama terkait dengan untuk mempertahankan negara
menjaga keutuhan negara tindakan ini dapat diterima. Terjadinya pelanggaran HAM pada orde baru, berhubungan erat
dengan budaya politik orde baru yang menekankan kepada stabiltas keamanan. Pendekatan stabiltas keamanan ini,
mengandung anak haram yang bernama kolusi, korupsi dan nepotisme. Pada daerah tertentu, nepotismenya yang
menonjol dan pada daerah tertentu kolusinya yang menonjol. Pelanggaran hak asasi manusia ini karena budaya politik
yang berkembangkan selama ini khsusunya yang berasal dari orde baru bersifat otoriter dan represif; di dalam sifat
otoriter dan represif ada nepotisme dan kolusi, paternalisme serta patrimonial yang ditandai dengan indikatornya antara
lain bapakisme, sikap asal bapak senang, tujuannya untuk mengamankan jalur kepentingan penguasa yang berkuasa.
Dalam hubungan ini, antara hak dan kewajiban tidak berjalan seiring sejalan. Akibat tidak harmonisnya hubungan
antara hak dan kewajiban melahirkan, kelompok yang hanya menuntut haknya, dan kelompok yang menuntut
kewajibannya saja, sehingga mengesankan ada kelompok pemerasan dan ada kelompok pembudakan. Perbenturan
keduanya melahirkan pelanggaran atas hak asasi manusia.
Official Website of Koalisi NGO HAM Aceh
http://
Tidak ada komentar:
Posting Komentar